Setiap pasangan suami istri tentu tidak menginginkan pernikahannya berakhir dengan perceraian. Namun, faktanya, angka perceraian di Indonesia sangat tinggi, dan setiap tahun mengalami peningkatan. Data terakhir dari Kementerian Agama, mencatatkan bahwa terdapat lebih dari 350 ribu perceraian pada tahun 2016. Nah, bicara tentang perceraian, ada banyak masalah yang harus dihadapi oleh kedua pihak. Salah satunya adalah terkait hak asuh anak. Dalam penyelesaiannya, masalah hak pengasuhan anak bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang, termasuk di antaranya adalah dari aturan agama. Hak Asuh Anak Setelah Perceraian Menurut Agama Kristen Sebelum membahas tentang hak asuh anak, Anda terlebih dulu harus mengetahui status perceraian dalam Agama Kristen. Perlu dicatat, secara umum, aturan Agama Kristen melarang pemeluknya memutus tali pernikahan. Kalaupun terjadi perceraian, hanya ada satu alasan yang membolehkannya, yakni perzinahan. Selebihnya, perpisahan dalam pernikahan terjadi karena kematian. Dalam Agama Kristen, pernikahan merupakan janji suci seorang penganutnya kepada Tuhan. Oleh karena itu, janji suci itu tidak bisa diputus begitu saja karena problem yang duniawi seperti masalah ekonomi, ketidakcocokan, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan hak pengasuhan anak ketika terjadi perceraian pada pernikahan penganut Agama Kristen? Dalam Agama Kristen tidak ada aturan yang secara khusus memuat hak asuh anak setelah kedua orang tuanya bercerai. Pada praktiknya, hak pengasuhan anak pada pasangan beragama Kristen, kerap ditentukan oleh aturan adat orang tua. Kalaupun pihak keluarga meminta persetujuan, pihak gereja bisa menentukan hak pengasuhan tersebut. Pemberian hak pengasuhan ditentukan dengan mempertimbangkan kemampuan psikis serta fisik dari masing-masing pihak. Kalau ayah tidak memiliki kemampuan fisik dan psikis, maka hak asuh tersebut diberikan kepada ibu. Demikian pula sebaliknya. Hak Asuh Anak Setelah Perceraian Menurut Agama Islam Berbeda dengan Agama Kristen, Agama Islam mengatur tentang perceraian dalam perkawinan. Karena itu, aturan terkait pengasuhan anak setelah terjadi perceraian juga bisa ditemukan. Hal penting yang perlu diperhatikan terkait hak pengasuhan anak dalam aturan Agama Islam adalah terkait usia anak. Ketika anak belum memasuki usia akil (belum bisa menggunakan akal pikiran), maka hak asuh anak berada di tangan ibu. Dengan begitu, anak bisa memperoleh kasih sayang dari ibunya secara penuh. Namun, hak asuh anak yang dimiliki oleh seorang ibu tidak permanen. Ada beberapa penyebab yang bisa membuat hak asuh tersebut hilang, di antaranya adalah ketika dia memutuskan untuk menikah lagi, berbuat banyak dosa, serta keluar dari Agama Islam. Sementara itu, ketika anak memiliki kemampuan berpikir secara logis, maka hak asuh anak ditentukan dengan pilihannya sendiri. Dia bebas memilih untuk ikut ayah ataupun ibu. Selanjutnya, pihak yang dipilih tidak boleh menghalangi pihak lain untuk bertemu dengan anak. Keputusan Hak Asuh Anak Harus Dilakukan dengan Musyawarah Terlepas agama masing-masing orang tua, baik Kristen ataupun Islam, mengharuskan pengambilan keputusan hak asuh dilakukan dengan musyawarah. Cara ini dilakukan untuk menghindari adanya perselisihan yang berakibat buruk pada kondisi emosional anak. Apalagi, ketika terjadi perceraian, anak sudah harus menderita secara psikis karena harus terpisah dengan orang tuanya. Kalau penderitaan itu harus diperparah dengan adanya perseteruan orang tua, malah akan memperburuk kondisi emosionalnya. Ingat, keputusan kepemilikan hak asuh harus mempertimbangkan kepentingan anak, bukan kepentingan orang tua. Anda boleh saja memiliki mantan istri atau mantan suami. Namun, hubungan darah dengan anak tidak akan terputus karena perceraian, karena tidak pernah ada yang namanya mantan anak.
0 Comments
Leave a Reply. |
Menulis Untuk Kami?Mau Artikel Anda masuk ke website kami. Kirimkan Artikel Anda ke [email protected] Archives
June 2018
Categories |